Memberi itu menyenangkan. Memberikan kepuasan batin. Juga berpahala. Setidaknya itulah alasan utama mengapa kita selalu mengajarkan pada anak-anak kita untuk tidak segan-segan memberi. Apalagi jika barang yang kita berikan itu sangat dibutuhkan oleh si penerima. Ucapan terima kasih pun bertaburan. Dan hari itu menjadi hari yang sangat menyenangkan bagi kita. Jika itu yang anda bayangkan, mungkin anda perlu berpikir ulang.
Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Maksudnya memberi lebih baik dari pada menerima. Mungkin ungkapan itulah yang memotivasi kita untuk selalu memberi. Namun memberipun perlu batasan pula. Maksudnya adalah bahwa tindakan memberi akan menjadi baik atau buruk sangat tergantung kondisi dan situasinya.
Pada dasarnya kita semua tahu, bahwa memberi itu merupakan perbuatan terpuji. Namun jika nantinya pemberian kita itu ternyata digunakan untuk perbuatan tercela, tentu saja ceritanya jadi lain. Jadi jika ditanya apakah memberi itu baik? Jawabnya relatif.
Sebenarnya bentuk pemberian itu banyak macam. Pemberian bisa berbentuk harta, tenaga, pikiran, hingga doa. Bahkan, kasih sayang-pun merupakan bentuk pemberian yang tiada taranya. Karena hidup tanpa kasih sayang sangatlah merana. Konon Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang Adam. Karena sang Adam merasa hidup terasa sepi meskipun di surga. Akhirnya Tuhan menciptakan Hawa, yang konon juga berasal dari tulang rusuk Adam, untuk menjadi patner Adam dalam ber-kasih sayang. Sehingga meskipun Adam diturunkan dari surga ke dunia, karena bujuk rayu Hawa pula, namun kedudukan Adam sebagai pemimpin di dunia tidak dicabut. Bahkan tidak tergantikan oleh malaikat, apalagi jin-setan. Mungkin karena Tuhan yakin, dengan adanya Hawa di sisi Adam, dunia akan membawa kemanfaatan sebesar-besarnya bagi umat-Nya.
Namun harapan tinggal harapan. Bukan salah Adam dan Hawa, apalagi Tuhan. Anak cucu Adam telah membuat kerusakan di dunia ini dengan menyalahgunakan “dia” demi keuntungan semu dan mengabaikan kerusakan yang diakibatkannya. Nilai bijak memberi-pun semakin memudar, karena buat apa kita memberi uang banyak pada anak-anak kita kalau hanya untuk membeli “dia”. Bukankah hal itu justru akan menjerumuskan anak untuk kecanduan “dia”.
Berkenalan dengan “dia”
Bagi anak muda yang selalu haus rasa keingintahuannya, “dia” begitu sangat misterius. Celakanya, segala sesuatu yang misterius itu justru menarik untuk diketahui. Bahkan jikalau perlu musti dicoba. Padahal tidak semua yang misterius itu tak berbahaya jika dicoba. Ambilah contoh NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat aditif lainnya).
Sebenarnya, sejak zaman dahulu beberapa ribu tahun sebelum kelahiran Isa, manusia telah mengenal dan menemukan zat yang bersifat aditif dan digunakan semata-mata untuk bersenang-senang. Sejarah mencatat, bangsa Indonesia mengenalnya sejak abad ke-19, pada saat zaman penjajahan Hindia-Belanda yang telah memperdagangkan opium (madat dan candu) di Pulau Jawa, Bali dan sekitarnya. Melalui perantara pedagang Cina, diteruskan para priyayi keraton, hingga sampai pada kaum buruh dan petani. Karena menjadi komoditas yang dilegalkan, maka sangat mudah untuk mendapatkan barang haram itu. Bahkan warung-warung di pedesaan sudah memperdagangkan opium dengan omset yang sangat menggiurkan, apalagi jika dibandingkan dengan hasil jualan nasi.
Bak bintang jatuh, keberadaan opium menjadi barang primadona yang menghasilkan keuntungan tak terkira. Apalagi jika saat mengkonsumsi opium disertai sahabat-sahabatnya, sejenis tuak, arak dan saguer produksi lokal. Lalu, bagaimana kehidupan sosial kemasyarakatan saat itu? Anda bisa bayangkan sendiri. Yang jelas keadaan tidak banyak berubah hingga saat ini. Perbedaannya, yang dahulu terang-terangan, sekarang sembunyi-sembunyi.
Biasanya kita mengenal jenis narkotika-psikotropika hanya ganja, ekstasi, shabu-shabu dan putaw. Padahal setidaknya ada 28 jenis bahan-bahan yang bisa digolongkan sebagai narkotika-psikotropika, dalam berbagai bentuk, cara mengkonsumsi, sensasi, bahan dan efek. Umumnya efek yang ditimbulkan berupa perasaan gembira semu, teler, tidak merasa lelah, percaya diri, hingga gairah seksual yang menggebu. Padahal efek tadi hanyalah bersifat sementara. Justru efek jangka panjang yang sangat berbahaya tidak terpikirkan sama sekali oleh para pengguna. Secara bertahap mengkonsumsi NAPZA sama artinya dengan membunuh 13 organ penting tubuh kita, yaitu otak, gigi, jantung, ginjal, sumsum tulang, janin, mata, paru-paru, payudara, pembuluh darah, hati, saluran pencernaan hingga organ reproduksi. Cerita tidak selesai sampai di sini saja, kematian akan segera menghampiri para pengguna karena mereka cenderung melakukan free seks, digerogoti berbagai penyakit seperti HIV/AIDS dan berbagai penyakit kelamin. Cerita akan semakin mengerikan, jika si pengguna adalah wanita dan sedang hamil, maka tentu kita bisa mudah menebak bagaimana nasib si jabang bayi kelak jika lahir nanti.
Tengok saja data mencengangkan, bahwa 25% pengguna, tertular HIV/AIDS dan 70-90% tertular Hepatitis B dan C. Anda boleh sekadar geleng-geleng kepala atau memilih bergegas pergi ke tempat tidur, berharap mendapatkan mimpi indah untuk melupakan cerita di atas. Memang persoalan ini bisa sangat memusingkan, meskipun baru dalam tahapan memikirkannya saja. Sepertinya, jargon revolusi-pun, sebagaimana yang diteriakkan oleh para pemuda mahasiswa kita untuk memperbaiki kondisi bangsa, belum cukup untuk melenyapkan setan NAPZA di muka negeri ini. Anda mau tahu sebabnya? Mungkin karena para pengedar dan penggunanya-pun ternyata ada kalanya dari mereka…. para remaja dan pemuda
Jangan Bicara dengan Orang Asing
Boleh percaya boleh tidak, para ahli di bidang narkotika-psikotropika dari kepolisian menyatakan bahwa remaja usia 12-22 tahun merupakan sosok rentan akan penyalahgunaan benda terlarang itu. Data menunjukan, remaja berada di rating tertinggi, sekitar 75% sebagai pengguna dan sudah dalam tahap ketergantungan. Lalu, kenapa harus remaja?
Jika anda mengajukan pertanyaan ini pada paranormal, mungkin jawabannya berkisar seputar ke-perawan-an dan ke-jejaka-an yang memang relatif hanya remaja yang masih memilikinya. Jika anda bertanya kepada psikolog, biasanya mereka akan mengkaitkan dengan psikologi perkembangan remaja. Usia remaja (12-22 tahun), berada pada pertumbuhan fisik yang pesat namun kurang diimbangi dengan perkembangan jiwanya. Ibaratnya mereka persis pada posisi tong kosong nyaring bunyinya. Intelektualnya mungkin pintar, namun cenderung belum bijaksana. Pertumbuhan organ-organ seksualnya menjadikan remaja berada di puncak perkembangan emosi dan perasaan cinta, rindu dan keinginan untuk intim dengan lawan jenis. Sehingga usia remaja identik dengan masa sensitif, reaktif, temperamental dan mudah stress.
Secara sosial, remaja lebih mempercayai teman dari pada keluarga. Akibatnya dia akan mudah terbawa dalam kebiasaan kelompoknya. Jika anak remaja anda akrab dengan para pecandu, maka anda tinggal menghitung hari saja untuk melihat anak anda menjadi pecandu pula. Perkembangan tingkat moral remaja, tidak jauh dari tingkat moral orang tua. Nampaknya pepatah, “air talang jatuhnya ke pelimbahan juga”, sangat tepat untuk menggambarkan situasi ini. Dan pada akhirnya mereka mulai menentukan jati diri mereka. Sedangkan perkembangan beragama sangat relatif, tergantung banyak hal.
Sudah selesaikah PR kita untuk mencegah remaja menjadi pengguna, dengan hanya mengetahui psikologi remaja. Mungkin saja. Karena dengan semakin mengetahui keadaan remaja, kita bisa melihat celah untuk melakukan tindakan pencegahan akan pengaruh narkotika-psikotropika di kalangan remaja. Tapi… tunggu dulu!! PR masih banyak. Dunia semakin berubah. Setelah remaja dan pemuda, ternyata target para pengedar merambah ke usia anak-anak usia sekolah dasar (6-12 tahun).
Modusnya banyak macam. Tentu saja tidak dalam kemasan mentah yang mereka edarkan. Namun sudah berupa makanan yang sangat digemari anak-anak, seperti permen. Dengan sedikit sentuhan seni, menambahkan zat-zat aditif ke bahan pembuat permen dan dikemas menarik dengan biaya murah-meriah, anak-anak akan mudah tertarik. Kalau perlu awalnya tidak perlu dijual, berikan secara ikhlas demi keuntungan jangka panjang. Cukup tampilkan sosok yang menawan, sedikit basa basi ala anak kecil, tawarkan permen dan sebisa mungkin bersabar dengan tiga sampai lima kali aksi. Selanjutnya jika si anak sudah kecanduan, bolehlah mulai pasang tarif.
Maka sebenarnya di jaman sekarang ini tidak berlebihan lagi jika kita menasehati anak-anak kita untuk tidak mudah bicara dengan orang asing. Maksudnya tanamkan pada diri anak kita sikap kritis dan curiga terhadap seseorang yang tidak dikenal dan kelihatan baik dengan menawarkan makanan ataupun mungkin mainan secara tiba-tiba. Karena siapa tahu di balik sikap baiknya itu, tersimpan niat busuk untuk menghancurkan masa depan anak-anak kita. Apalagi sekarang ini lebih banyak penjahat bertampang menawan, daripada penjahat bertampang garang.
Nasehat ini memang penulis adopsi dari pepatah Barat. Memang budaya Barat dan Timur berbeda. Tapi apakah nasehat ini sesuai tidak dengan budaya di timur? Silahkan anda jawab sendiri. Tapi bukankah masa depan anak-anak kita lebih penting dari sekadar pemisahan geografis Timur dan Barat?
Salah Selebritis…
Teman saya pernah berseloroh dengan sedikit emosi. Katanya segala bencana yang terjadi di negeri ini bersumber dari mereka para selebritis. Termasuk merajalelanya pengguna narkoba dan free seks di kalangan anak dan remaja. Mungkin Tuhan sudah jenuh karena rakyat negeri ini lebih suka meniru gaya dan hidup selebritis, yang diekspos secara berlebihan, dari pada utusan-utusan-Nya. Itulah analisis seorang teman yang kebetulan bukan seorang selebritis. Melihat betapa seriusnya dia menjelaskan, penulis hanya geleng-geleng kepala sembari berdoa semoga teman tersebut jangan sampai berprofesi seperti selebritis
Mungkin lebih tepatnya bukan si selebritis, namun media-lah yang perlu mengkoreksi diri. Kecenderungan remaja yang suka mengidolakan seorang artis, cenderung mengikuti gaya hidup si artis tersebut. Jika moral si artis baik, tentu sangat membantu perkembangan jiwa si remaja. Tetapi apa jadinya ketika media justru sering menampilkan sosok artis yang kecanduan dan berperilaku free seks?
Sangat bijak apa yang telah dilakukan Badan Sensor Film Indonesia, dengan menyensor adegan cabul dan adegan ketika si pecandu sedang menyuntikan NAPZA ke tubuhnya. Karena seolah-olah adegan itu memancing kita untuk free seks apalagi di saat hasrat menggebu dan mengajarkan bagaimana teknik mengkonsumsi narkoba.
Asah, Asih, Asuh
Peran ini sangat mungkin dilakukan oleh orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga. Bagaimanapun juga keluarga adalah lingkungan pertama yang sangat mempengaruhi tindak-tanduk anak. Dengan tauladan, perlakuan penuh kasih sayang, hubungan yang hangat, respek dan terbuka terhadap masalah dan pendapat anak, hubungan keluarga yang harmonis, dan bimbingan ruhani yang berkesinambungan, akan memberikan atmosfer tepat bagi perkembangan jiwa anak.
Selain itu, memastikan teman dan lingkungan pergaulan yang tepat bagi remaja juga tindakan pencegahan yang tepat. Karena perlu kita sadari bersama, pencarian jati diri remaja sedikit-demi sedikit mulai meninggalkan panggung keluarga menuju panggung masyarakat yang lebih kompleks, rawan dan under control.
Mungkin moment Hari Anti Madat, yang kita peringati setiap tanggal 26 Juni, bisa menjadi gerakan moral bagi masyarakat untuk memerangi segala bentuk madat yang terbukti berpotensi menghancurkan masa depan bangsa. Atau jika anda sudah sangat bingung dan pusing, segeralah pergi ke tempat tidur untuk berpulas ria dengan bantal anda. Lalu siapkan diri karena bisa jadi esok ketika bangun, anda melihat dunia sudah berubah. Anda sudah tidak bisa lagi mengenali anak-anak anda dan tak lama kemudian anda-pun menjadi bagian dari penggila setan narkotika-psikotropika. Semoga ini hanya mimpi! Amin.
Arti Hadirmu Sahabat (Flash Back)
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar