Apa reaksi anda ketika disuatu jalan, menemukan segepok uang dalam jumlah besar? Bahagia tentunya. Lain cerita jika usai sholat jum’at, anda mendapati bahwa sandal yang anda pakai berbeda warna pada saat keluar dari pintu masjid? Tentu saja karena tidak disengaja. Pastilah anda jengkel dibuatnya. Ketidaksengajaan memiliki kesan yang beragam atau bahkan saling bertolakbelakang. Tergantung momennya. Ada sesuatu yang menarik tentang makna kebetulan, ketika Profesor Roberts mengatakan bahwa sesungguhnya lebih banyak hal bermanfaat yang ditemukan secara kebetulan, dibandingkan hasil dari pencarian yang disengaja. Beliau mengacu pada banyak penemuan-penemuan sains yang tidak disengaja.
Marilah kita perhatikan dengan seksama apa yang diungkapkan oleh Royston M. Roberts, dalam bukunya “Serendipity, Accidental Discoveris in Science”. Beliau merangkum berbagai penemuan-penemuan dalam bidang sains, seperti fisika, kedokteran, kimia, biologi, arkeologi, industri hingga astronomi, yang ternyata sebenarnya ditemukan secara serendipity atau tidak sengaja. Beberapa penemuan beliau sebut pseudoserendipity atau serendipity semu, karena beberapa sebab. Istilah serendipity itu sendiri muncul pertama kali sekitar tahun 1754, dalam sebuah surat dari Horace Walpore kepada Sir Horace Mann. Surat itu menunjukan ketertarikan Walpore pada sebuah kisah “Tiga Pangeran dari Serendip”, tentang keberuntungan tiga pangeran yang selalu menemukan sesuatu, baik secara perhitungan maupun tak sengaja, yang sebenarnya tidak sedang mereka cari. Belakangan kata serendipity semakin sering dipakai dalam mengungkap berbagai fenomena, termasuk sains.
Dalam pembicaraan yang berbau sains, istilah sengaja atau tidak sengaja memang masih kurang familier. Karena dalam metode ilmiah, faktor kesengajaan sepertinya tidak mendapatkan tempat dalam dunia penelitian ilmiah. Karena mengandung ketidakpastian dan tidak bisa diprediksi, apalagi diulang. Dan sepertinya Roberts mencoba untuk menempatkan faktor ketidaksengajaan dalam jajaran metode ilmiah. Jadi, mari kita cermati beberapa ketidaksengajaan yang terjadi pada sains yang diungkap oleh Roberts. Walaupun sebenarnya bukan itu tujuan utama tulisan ini, serendipity ternyata memiliki sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan pemahaman religius seseorang, khususnya pada bentuk keyakinan religius seseorang. Serendipity memiliki potensi menjadikan seseorang ateis, bahkan mereka para ilmuwan dengan otak cerdas sekalipun.
Dalam dunia arkeologi, sebagaimana yang disampaikan arkeolog Mary Leakey, bahkan hampir tidak pernah menemukan sesuatu yang telah direncanakan. Kebanyakan benar-benar berhasil tanpa benar-benar mencoba. Sebenarnya memang, banyak penemuan arkeologi terkenal ditemukan oleh orang-orang yang tidak bermaksud untuk menemukannya. Penemuan patung terakota prajurit sebanyak 6000 buah di Republik Rakyat Cina pada tahun 1974. Dua tahun kemudian disusul penemuan baru 1.400 patung manusia dan kuda. Pada saat yang hampir bersamaan ditemukan pula 73 prajurit dalam posisi berjaga. Letak penemuan ribuan patung berukuran sebenarnya ini berada pada 3 buah kubah yang terletak sekitar 600 meter di bawah permukaan tanah. Dipercaya patung-patung ini dibuat 2.200 tahun lalu pada saat kerajaan dipimpin oleh Kaisar Qin Shihuangdi, yang juga terkenal karena memerintahkan dibangunnya Tembok Raksasa (The Great Wall). Lalu, siapa yang pertama kali menemukannya? Ternyata hanyalah seorang penggali sumur. Tentu saja secara serendipity.
Di Afrika Selatan, tahun 1924, “Anak Taung” ditemukan tidak sengaja oleh para pekerja yang sedang menggali kapur di gua Taung dekat Johannesburg.
“Manusia Netherland”, ditemukan oleh para penambang di sebuah gua di Jerman pada tahun 1857. Manusia Tollond, Manusia Lindow, Piringan Aztec Mexico City dan masih banyak fosil-fosil lain ternyata ditemukan oleh para pekerja bangunan tanpa ada maksud untuk mencarinya. Ketika para pekerja tersebut menemukan sesuatu yang aneh, mereka selanjutnya melaporkannya pada arkeolog. Jadi pada dasarnya bukanlah arkeolog tersebut yang menemukan. Peran mereka tak lebih hanya sekadar meneliti dan meneruskan penggalian setelah ditemukan pertama kali oleh para pekerja tersebut.
Mungkin kita perlu beralih pada bidang lain, fisika misalnya. Pernah mendengar cerita ada seorang ilmuwan yang berlari bugil sambil berteriak “Eureka! Eureka!”, ketika mendapati air pada bak mandinya tumpah tatkala dia mencelupkan diri ke bak mandi tersebut? Peristiwa ini bukanlah dongeng semata. Tumpahnya air dari bak mandi tersebut memberinya ide jalan keluar untuk membedakan antara emas murni dan emas campuran pada mahkota sang raja. Ya, dialah Archimedes. Archimedes memang seorang ilmuwan, namun insiprasi yang dia dapatkan ketika itu tidaklah secara sengaja alias serendipity. Keberuntungan Archimedes diikuti oleh keberuntungan W.C. Rontgen dalam menemukan sinar X. Fenomena sinar X yang betul-betul baru pada saat itu, memberikan kemajuan yang sangat berarti dalam perkembangan teknologi hingga dimasa sekarang. Dan hadiah Nobel pertama kali tahun 1901 dalam bidang fisika yang diterima Rontgen, merupakan pengakuan pencapaian berharga dalam dunia sains yang ditemukan secara tidak sengaja, meskipun oleh seorang ilmuwan sekalipun.
Cerita lain tentang penemuan kinina sebagai obat dari malaria, konon bukan hasil penemuan seorang dokter. Namun merupakan penemuan dari seorang Indian yang hidup di pegunungan Andes. Karena demam yang dideritanya, maka ia tersesat dalam kondisi kehausan. Dan secara tidak sengaja, bahkan terpaksa, dia meminum air kolam yang telah tercemar quina-quina. Meskipun pahit, namun si Indian justru berangsur sembuh dan mengabarkan berita ini ke seluruh penduduknya. Singkat cerita berita itu pun sampai ke telinga para misionaris Jesuit di awal abad ketujuh belas. Penelitian terhadap kinina mungkin dilakukan setelah para misionaris tersebut menyebarkan kasiat kinina ke orang-orang. Cerita aspirin, obat sulfat, sefalosporin dan siklorporin tidak jauh berbeda dengan kina, ditemukan secara tak sengaja. Obat-obat tersebut justru ditemukan, pada saat peneliti ingin mengujinya untuk tujuan tertentu, namun justru tujuan lain yang tercapai. Bahkan dalam kadar yang sama sekali berbeda dan kadang-kadang lebih penting. Jadi, apa garis merah antara kinina, aspirin, sinar X, terakota dan sejumlah penemuan terkenal lainnya? Jawabnya: serendipity!!
MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEBERUNTUNGAN
Sebenarnya masih banyak lagi berbagai penemuan yang dikemukakan oleh Profesor Roberts yang diungkapannya ditemukan secara serendipity. Apakah lalu serendipity menjadi suatu berkah dan keberuntungan bagi yang mengalaminya? Tentu saja sangat relatif kita menjawabnya. Karena pada dasarnya bukanlah faktor serendipity semata yang terjadi, namun ada faktor lain yang berperan. Karena apa untungnya jika ketika itu Rontgen mengabaikan begitu saja keberadaan sinar X tanpa menyadarinya. Yang pasti dugaan Profesor Robert ini mendapat kritik dari ahli kedokteran, kimia dan mikrobiologi, Pasteur dan seorang pemenang Nobel Paul Flory. Pasteur menanggapi dugaan Roberts dengan kalimat singkat, “Dalam dunia observasi, kemungkinan hanya tersedia bagi yang berpikiran siap”. Pada saat penganugerahan Medali Priestley oleh American Chemical Society, Paul Flory menguatkan apa yang dikatakan Pasteur. Bagi Flory, penemuan-penemuan yang signifikan bukanlah sekadar kebetulan. Ketidaksengajaan atau kebetulan, memang berperan, namun pasti masih lebih banyak penemuan dibandingkan dengan suatu ketidaksengajaan yang tiba-tiba terjadi begitu saja. Pengetahuan yang dalam dan luas merupakan syarat mutlak. Jika tanpa dibekali itu, maka pijar-pijar kejeniusan tidak akan pernah menyalakan apapun.
Jadi sebenarnya bukan hanya kebetulan jualah yang merupakan satu-satunya faktor atas berbagai penemuan tersebut, melainkan juga faktor kearifan! Meluapnya air bak mandi pasti pernah dialami jutaan orang lain, bahkan sebelum Archimedes hidup. Meskipun tidak menimbulkan efek dramatis sebagaimana yang dialami oleh Archimedes. Archimedes bisa menangkap kejadian tersebut lebih arif dibandingkan orang lain. Bisa jadi kearifan itu muncul karena pada saat itu Archimedes memang dalam kondisi pencarian inspirasi untuk memecahkan persoalan menentukan apakah mahkota raja terbuat dari emas murni atau emas campuran. Kearifan ini juga muncul saat Newton secara tidak sengaja mengamati apel yang jatuh dari tangkainya. Jika dalam pengamatan tersebut Newton hanya sekadar kebetulan melihat, tanpa menyadarinya dan berpikir secara arif, mungkin tidak ada hukum gerak yang dia rumuskan. Newton pada saat itu bukan hanya berada pada waktu dan tempat yang tepat, juga orang yang tepat. Jadi jika sekalipun Einstein yang duduk di bawah pohon apel tersebut, belum tentu sejarah perkembangan fisika akan tepat pada alur sebagaimana selama ini berjalan.
Jika kearifan memiliki peran, kita mungkin perlu memberikan predikat brilian pada Ibrahim a.s. Siapapun pasti pernah memperhatikan matahari dan bulan. Keduanya muncul pada saat yang berbeda bukan karena betul-betul menghilang disaat kita tidak bisa melihatnya, namun karena tak terlihat karena ketidakmampuan indera manusia melihatnya. Bukankah siang hari bulan masih tetap berevolusi mengitari bumi? Dan bukankah matahari tetap berpijar meskipun kita hidup pada bagian Bumi berlawanan saat Bumi berputar mengelilinginya? Fenomena ini memang belum diketahui Ibrahim a.s. pada saat itu. Dan justru disitulah keuntungannya. Dengan ketidaktahuan Ibrahim a.s. akan keberadaan matahari di malam hari dan bulan di siang hari, membawanya pada kesimpulan dramatis, bahwa bulan dan matahari bukanlah Tuhan!! Karena, menurut Ibrahim a.s. pada saat itu, Tuhan tidak akan mungkin hilang karena kehendak alam. Sedangkan matahari akan terbenam di malam hari dan bulan akan menyembunyikan diri ketika malam. Jadi jelaslah bahwa Tuhan bukan matahari atau bulan. Juga bulan atau matahari bukanlah Tuhan yang patut di sembah, sebagaimana wujud yang sedang Ibrahim a.s. renungi.
Ibrahim a.s. adalah hamba Tuhan yang arif. Karena jika tidak, maka pengamatan Ibrahim a.s. terhadap matahari dan bulan tidak akan menghasilkan kesimpulan bijak apapun. Jika kearifan ini muncul juga dalam konsep yang lebih religius, maka mungkin fisikawan secerdas Stephen Hawking, Francis Crick, Carl Sagan, Richard Dawking, Jacques Monod dan Peter Atkins tidak akan berpendirian ateis. Atau setidaknya tidak akan menulis buku yang menyudutkan peran dan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebenarnya sangat disayangkan sekali akal-akal yang cerdas sampai tersesat pada keingkaran akan keberadaan Sang Pencipta. Apakah mereka hanyalah orang yang tidak tepat, pada saat dan tempat yang salah? Mungkin saja. Hawking dan teman-temannya, telah terperangkap pada praduga bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah adalah tidak ada, termasuk keberadaan Tuhan. Lebih parah lagi, Hawking juga menganggap keberadaan alam semesta dan makhluk yang hidup di atasnya muncul tanpa ada penjelasan apapun dan peranan siapapun, termasuk peran Tuhan. Tegasnya muncul secara serendipity!!
KEBODOHAN SI CERDAS
Ada suatu jenis kebodohan yang justru menjangkiti mereka para pemilik otak brilian, yaitu rasa percaya diri yang berlebihan. Abad sains modern pasca Galileo Galilei melahirkan generasi baru yang menegaskan tidak mengakui segala sesuatu hingga sesuatu itu lolos dalam uji ilmiah. Hingga akhirnya kaum beragama bahkan Tuhan pun tersingkir dan hanya menjadi ide yang kadaluwarsa. Mereka terlalu percaya diri karena terbiasa menciptakan suatu teori dan segala yang bertentangan dengan teori mereka segera masuk ke dalam tong sampah berlabel takhayul. Bukankah keyakinan mereka tentang keberadaan semesta secara sendipity adalah cerita yang betul-betul tahayul? Mereka lupa hasil pemikiran para filsuf klasik ternama yang juga guru mereka, Plato, Aristoteles, Descrates, Leibniz, Kant, Hegel dan Barkeley, yang melihat semesta ini bersumber dari suatu realitas yang abstrak dan bersifat Maha. Ada suatu batasan kemampuan berpikir manusia yang sehingga perlu sesuatu yang menjadi jawaban akhir dari setiap pertanyaan. Batasan kemampuan berpikir manusia dengan mudah dideteksi. Misalnya sebuah pertanyaan, apa yang menjadi titik awal mula semesta? Mengapa semesta mengambil bentuk seperti yang sekarang ini? Apakah ada alternative lain? Dan berjuta-juta pertanyaan lain yang manusia tidak akan pernah mampu untuk menjawabnya.
Kita tahu, tidak ada yang meragukan kecerdasan ilmuwan sekaliber Stephen Hawking dalam bidang fisika. Meskipun dalam kondisi yang lumpuh sekujur tubuh, otaknya masih bisa berpikir tajam, bahkan lebih tajam dari kebanyakan orang normal. Dan kita pun pasti akan sangat mengakui, bahwa tatkala Hawking menanyakan di mana tempat bagi Sang Pencipta, pastilah bukan gurauan apalagi efek khayalan. Namun mengapa dia menyimpulkan menyangsikan keberadaan Sang Pencipta dalam proses penciptaan alam semesta? Keith Ward, seorang guru besar ilmu ketuhanan fakultas Teologi Universitas Oxford, dalam bukunya, “God, Chance and Necessity”, terbit tahun 1996, menduga cercaan kaum ateis itu merupakan balas dendam atas cercaan kaum beriman yang pernah mengatakan bahwa ketidakpercayaan terhadap agama adalah hasil dari kebodohan dan khayalan.
Bisa jadi keberanian Hawking menyingkirkan peran Tuhan dalam penciptaan semesta, mirip dengan keberanian Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, atas nama kebebasan manusia. Atau keberanian Auguste Comte yang secara membabi buta menganggap bahwa sains telah mengalahkan logika agama. Mengklaim manusia adalah ukuran dari segala-galanya dan menjadi satu-satunya penghuni semesta. Bisa jadi kesombongan itu muncul karena kita yang mengganggap terlalu serius klaim-klaim religius yang mereka lontarkan padahal bukanlah kapasitas mereka untuk membicarakannya.
DEMI TAKDIR
Nampaknya konsep takdir jangan dulu diperbincangkan sekarang ini. Karena hanya akan menjadikan kita pasrah atas kemampuan akal. Kita perlu rangsang logika akal dengan beberapa pertanyaan berantai, “Mengapa Archimedes menjadi orang yang tepat dan menyadari bahwa air tumpah tersebut merupakan kunci jawaban yang selama ini dia cari?” Mungkinkah karena akal dan hatinya terus menerus menfokuskan diri pada sejumlah pertanyaan-pertanyaan pada masalahnya tersebut, sehingga tepat tatkala dia melihat air tumpah, maka akal dan hatinya jadi sensitif. Dan Tuhan memberkati Archimedes melalui ilham? Mungkinkah ilham sebanding dengan hidayah? Jika pembicaraan ini kita melibatkan konsep agama dalam menjawab pertanyaan di atas, kita bisa mengkaitkan antara hidayah dan ilham.
Sebuah kisah nyata tatkala seorang penjudi mendengar tangisan anaknya, maka dengan serta merta dia merenung atas segala apa yang telah menjadi kebiasaan buruknya selama ini. Singkat cerita dia akhirnya bertobat dan memilih mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendapatkan ketenangan diri dan berpikir lebih jernih. Sehingga meskipun kemiskinan masih menderanya, namun perasaan kosong yang selama ini dialaminya musnah sudah. Akalnya bekerja dan kebiasaan-kebiasaan buruknya selama ini dalam sekejab menjadi sesuatu yang sangat dibenci dan disesalinya. Kisah ini mengungkapkan bahwa hanya dengan sebuah tangisan seorang bayi mampu mengubah pendirian, kebiasaan dan kehidupan seseorang. Si penjudi menanggapi tangis anaknya dengan arif meskipun secara kebetulan. Meskipun berulang kali dia mendengar tangis si anak, namun dia menanggapi tangis si anak pada saat itu dengan cara yang berbeda. Dan tangisan anaknya pada saat itu menjadi momen yang tak kalah dramatisnya dengan momen ketika Newton mendapat ilham hukum gravitasi saat melihat apel jatuh. Perbedaannya hanya apel Newton menjadi sebuah fenomena karena kebetulan dia seorang tokoh.
Nampaknya bukanlah hal yang rumit mengkaitkan antara hidayah dengan keberuntungan. Mungkin formulasinya sebagaimana dugaan kita terhadap Archimedes, cukup fokuskan apa yang menjadi konsep kebenaran yang diyakini dan bersabarlah. Tunggu saat-saat dramatis tiba dan jika saat itu tiba bergembiralah. Karena mungkin peristiwa sepele itu menjadi titik awal kehidupan anda menjadi lebih baik. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kita bisa mengganti konsep menfkuskan diri dengan kata “niat”. Nah, bukankah menjadi semakin sederhana?
Arti Hadirmu Sahabat (Flash Back)
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar